Profil Raden Saleh
Profil Raden SalehRaden Saleh Syarif Bustaman dilahirkan sekitar 1811 di Terboyo (Semarang), wafat pada 23
Maret 1880 di Bogor dan disemayamkan di Bogor.
Bakat melukis semasa kecil diperhatikan oleh sebuah keluarga Belanda dan pada 1828 Raden Saleh oleh keluarga tersebut dibawa ke Negeri Belanda untuk belajar lebih lanjut.
Pada waktu di Belanda belajar melukis potret dari Cornelis Kruseman dan tema pemandangan dari Andries Schelfhout. Kruseman adalah pelukis istana dan menerima pesanan melukis pemerintah Belanda dan keluarga kerajaan. Meskipun Raden Saleh dapat menguasai teknik dan gaya lukisan Barat, tetapi dalam pergaulan sehari hari Raden Saleh masih tetap diperlakukan sebagai seorang anak jajahan.
Selanjutnya Raden Saleh berkelana ke Jerman, dan di Jerman beliau menerima penghargaan yang sepatutnya sebagai seorang manusia dan sebagai seorang Pelukis yang berbakat. Di Jerman Raden Saleh di elu elukan sebagai seorang Bangsawan dari Jawa dan menjadi Tamu kehormatan dari Ernst I, Grand Duke dari Saxe-Coburg-Gotha. Para Ningrat Belanda, Jerman dan Belgia, mengagumi pelukis RS, yang selalu tampil unik dengan berpakaian adat bangsawan Jawa lengkap dengan blangkon.
Raden Saleh juga beberapa kali berkunjung ke Paris, antara lain pada saat berlangsung Revolusi Februari 1848. Pada tahun 1851 Raden Saleh pulang ke Hindia (Indonesia), dan di Batavia Raden Saleh melukis potret keluarga keraton dan pemandangan.
Karya Lukis Raden Saleh
Raden Saleh ~Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857)
Dr. Werner Kraus menyatakan, Raden Saleh adalah pelukis yang sejajar dengan pelukis ternama. Bahkan, dia memiliki kekhasan tersendiri, yakni karya lukisannya tetap tidak meninggalkan jati dirinya sebagai se orang Jawa Salah satu bukti pembenarannya ada dalam lukisan ”Banjir di Jawa”, yang teknik lukisan dan hasil lukisannya menyamai lukisan ”Raft of Medusa (Rakit Medusa)” karya Gericault. Pada lukisan itu terpancar suasana mencekam dan ekspresi orang-orang Jawa yang ketakutan akibat banjir yang menerjangnya sebagaimana ekspresi ketakutan orang-orang dalam Lukisan ”Rakit Medusa”.
Beberapa lukisan Raden Saleh yang menggambarkan perlawanan terhadap penjajahan antara lain “Perkelahian dengan Singa” dan “Gunung Merapi dan Merbabu”. Kedua lukisan itu dibuat tahun 1870 dengan gaya romantisme paradoks. Kedua lukisan itu sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonial Belanda atas perlakuan terhadap dirinya yang semena-mena. Tanpa prosedur, ia ditangkap dan diadili oleh pemerintah kolonial Belanda karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Bekasi 1869……. Pada lukisan “Antara Hidup dan Mati” (1848) digambarkan seekor banteng besar sebagai lambang bangsa Indonesia melawan dua ekor singa jantan dan betina sebagai lambang kolonial Belanda.
Sebagai pelukis, Raden Saleh dimunculkan sebagai legenda karena kualitas lukisan-lukisannya memang istimewa. Lukisan-lukisannya mempunyai aura yang sanggup menahan keabadian (hlm 144).
Menurut Werner Kraus, jumlah lukisan yang dibuat Raden Saleh 230 buah, tetapi sekarang di dunia ini hanya tinggal 150. Sisanya kemungkinan sudah hilang, Sebagian terbakar pada 1931 dalam Pameran di Paris.”
Nasionalisme
Salah satu karyanya yang terkenal dan mengandung makna yang syarat dengan nasionalisme adalah “Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857)
Pengarang buku “Kuasa Ramalan”, Peter Carey menulis: ”…. Dua puluh lima tahun setelah Pieneman melukis adegan “penyerahan diri” yang heroik oleh Pangeran itu, seniman lain, kali ini seorang Jawa, Raden Saleh Syarif Bustaman (sekitar 1811–1880), menghasilkan lukisan yang sangat berbeda. Dengan judul dalam bahasa Jerman “Ein historisches Tableau, die Gefangennahme des Javanischen Häuptlings Diepo Negoro” (Suatu lukisan [cat minyak] bersejarah, penangkapan Pemimpin Jawa Diponegoro), yang diselesaikan di studio Raden Saleh di Cikini (sekarang RS Cikini) tahun 1857 dan kemudian diserahkan kepada Raja Belanda, Willem III (bertakhta 1849–1890), dengan sikap aneh yang bermakna ganda. Karya ini memperlihatkan emosi yang luar biasa. Seorang Diponegoro yang jelas tampak berang berdiri tegak di bagian tengah lukisan, baru saja menaiki tangga Wisma Residen. Dengan berusaha keras mengendalikan gejolak hatinya, tatapannya sarat dengan tekad membara. Tangan kirinya terkepal melintang di pinggang, ia merentangkan tangan kanannya untuk menghibur seorang perempuan Jawa yang menangis— mungkin istrinya, Raden Ayu Retnoningsih, di sini suatu hasil kebebasan mencipta. (Karena) Tidak ada perempuan dalam rombongan Diponegoro pada saat penahanannya. … –yang dengan penuh kepedihan merengkuh kakinya. Seperti digambarkan oleh Kraus (2005:285– 6) dengan sangat hidup, wajah De Kock dan perwira Belanda lain tampak kosong seolah-olah menatap ke kejauhan.”
Dr I Ketut Winaya, dalam disertasinya di Universitas Udayana (2007) ( dan Buku: “Lukisan Lukisan Raden Saleh, Ekspressi Anti Kolonial”; Galeri Nasional 2008) menegaskan “semangat antikolonial Raden Saleh lewat pembacaan lukisan-lukisannya ….. pada lukisan potret H.W. Daendels di latar belakang figur gubernur jenderal itu bukan hanya pemandangan tropis nan molek, melainkan juga “tampak banyak terlukis bentuk manusia… mengingatkan… bahwa gubernur jenderal ini yang memerintahkan pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer… yang banyak menelan korban rakyat.” (halaman 80)
….pada potret Bupati Majalengka, keris yang disandang di samping dengan kepala keris mengarah ke depan menyimbolkan bupati ini sedang siap berperang. Dengan lukisan ini, “seolah- olah secara terbuka ia [Raden Saleh] kembali ke Indonesia siap siaga untuk memproklamirkan perang melawan kolonialisme.” (halaman 104)
….pada lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, di antara prajurit Diponegoro ada sosok Raden Saleh sendiri. Mudah disimpulkan bahwa sang pelukis menyatakan mendukung perlawanan ini; bukankah di antara keluarganya ada yang menjadi panglima Perang Diponegoro? Dan ini, kostum Pangeran Diponegoro, “apabila diamati dengan baik, di atas dan di tengah-tengah sorbannya diketemukan warna merah dan putih.”
……. “dalam hal ini jelaslah bahwa Raden Saleh mempergunakan lambang atau simbol merah putih tersebut sebagai bentuk perlawanan dalam ekspresi lukisan-lukisan antikolonial….” (halaman 112)
Menurut Carey, bahwa selama Raden Saleh berada di Paris, ada dugaan kuat bahwa Raden Saleh membocorkan kepada Pers mengenai pengasingan Pangeran Diponegoro, dan tulisan media setempat menyebabkan Kerajaan Belanda membuat bantahan keras melalui Duta Besar Belanda di Paris.
Prestasi lain
Raden Saleh juga menjadi anggota kehormatan Perhimpunan untuk Kebun Binatang dan Tumbuh- tumbuhan di Batavia; anggota kehormatan Perhimpunan Betawi untuk Seni dan IImu Pengetahuan (Bataviaasch Gennootschap voor Kunsten en Wetenschap); dan keanggotaannya untuk Koninkijk Instituut voor de Taal, Land-en Volkenkunde di negeri Belanda; dan Natuurkundig Verreninging in Nederlandsch Indie (Perhimpunan IImu Pengetahuan Alam di Hindia Belanda). Juga menjadi konservator pada “Lembaga Kumpulan Koleksi Benda-benda Seni”.
Peringatan dan Penghargaan
Para Raja zaman itu menganugerahinya tanda penghargaan, yang RS sematkan di dada. Di antaranya, bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ksatria Orde Mahkota Prusia (R.K.P.), Ridder van de Witte Valk (R.W.V.), dll.
Pada tahun 2008, sebuah kawah di planet Merkurius diberi nama dari Raden Saleh.
Penghargaan dari Pemerintah Indonesia
Pada tahun 1969 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, memberikan secara anumerta Piagam Anugerah Seni sebagai Perintis Seni Lukis di Indonesia.
Perhatian Pemerintah yang lain adalah, pembangunan makamnya di Bogor atas perintah Presiden Soekarno (1953) yang dilakukan oleh Ir. Silaban. Pemugaran dan perbaikan makam dilakukan pada 2008 oleh Departemen Budaya dan Pariwisata.
PTT mengeluarkan perangko seri Raden Saleh dengan reproduksi dua lukisannya bergambar binatang buas yang sedang berkelahi.
Pada 11 Nopember 2011 Pemerintah R.I. menganugerahkan Bintang Mahaputera Adiprana kepada RS, Satya Lencanan tertinggi yang diberikan kepada seorang warga Negara Indonesia.
Indonesia boleh berbangga karena karya salah seorang puteranya dipamerkan dalam museum museum akbar di Eropah, seperti Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda, dan juga dipajang di museum bergengsi Louvre, Paris, Perancis. Sayangnya beberapa lukisan Raden Saleh telah musnah didalam kebakaran Pavilyun Kolonial Belanda dalam Pameran Internasional di Paris pada 1931.
Prestasi artistiknya mengangkat prestise RS didunia Internasional, dan karenanya patut dikenang dan dihargai dengan rasa bangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar