Selasa, 29 Oktober 2013

RADEN SALEH

Profil Raden Saleh

Profil Raden Saleh 
Raden Saleh Syarif Bustaman dilahirkan sekitar 1811 di Terboyo (Semarang), wafat pada 23
Maret 1880 di Bogor dan disemayamkan di Bogor.
Bakat melukis semasa kecil diperhatikan oleh sebuah keluarga Belanda dan pada 1828 Raden Saleh oleh keluarga tersebut dibawa ke Negeri Belanda untuk belajar lebih lanjut.
Pada waktu di Belanda belajar melukis potret dari Cornelis Kruseman dan tema pemandangan dari Andries Schelfhout. Kruseman adalah pelukis istana dan menerima pesanan melukis pemerintah Belanda dan keluarga kerajaan. Meskipun Raden Saleh dapat menguasai teknik dan gaya lukisan Barat, tetapi dalam pergaulan sehari hari Raden Saleh masih tetap diperlakukan sebagai seorang anak jajahan.
Selanjutnya Raden Saleh berkelana ke Jerman, dan di Jerman beliau menerima penghargaan yang sepatutnya sebagai seorang manusia dan sebagai seorang Pelukis yang berbakat. Di Jerman Raden Saleh di elu elukan sebagai seorang Bangsawan dari Jawa dan menjadi Tamu kehormatan dari Ernst I, Grand Duke dari Saxe-Coburg-Gotha. Para Ningrat Belanda, Jerman dan Belgia, mengagumi pelukis RS, yang selalu tampil unik dengan berpakaian adat bangsawan Jawa lengkap dengan blangkon.
Raden Saleh juga beberapa kali berkunjung ke Paris, antara lain pada saat berlangsung Revolusi Februari 1848. Pada tahun 1851 Raden Saleh pulang ke Hindia (Indonesia), dan di Batavia Raden Saleh melukis potret keluarga keraton dan pemandangan.

Karya Lukis Raden Saleh 

 Raden Saleh ~Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857)

Di Perancis wawasan seni RS banyak dipengaruhi oleh gaya romantisme dari Pelukis Horace Vernet dan Gericault, dan mungkin juga tokoh romantisme terkenal Delacroix. RS mengkhususkan diri pada dunia pelukisan hewan yang dipertemukan dengan sifat agresif manusia. Karya-karyanya yang tidak biasa menunjukkan perpaduan nilai Jawa dan budaya Eropa. Menjadikannya sebuah aliran baru bagi pecinta seni.
Dr. Werner Kraus menyatakan, Raden Saleh adalah pelukis yang sejajar dengan pelukis ternama. Bahkan, dia memiliki kekhasan tersendiri, yakni karya lukisannya tetap tidak meninggalkan jati dirinya sebagai se orang Jawa Salah satu bukti pembenarannya ada dalam lukisan ”Banjir di Jawa”, yang teknik lukisan dan hasil lukisannya menyamai lukisan ”Raft of Medusa (Rakit Medusa)” karya Gericault. Pada lukisan itu terpancar suasana mencekam dan ekspresi orang-orang Jawa yang ketakutan akibat banjir yang menerjangnya sebagaimana ekspresi ketakutan orang-orang dalam Lukisan ”Rakit Medusa”.

Potret Sendiri Raden Saleh
Beberapa lukisan Raden Saleh yang menggambarkan perlawanan terhadap penjajahan antara lain “Perkelahian dengan Singa” dan “Gunung Merapi dan Merbabu”. Kedua lukisan itu dibuat tahun 1870 dengan gaya romantisme paradoks. Kedua lukisan itu sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonial Belanda atas perlakuan terhadap dirinya yang semena-mena. Tanpa prosedur, ia ditangkap dan diadili oleh pemerintah kolonial Belanda karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Bekasi 1869……. Pada lukisan “Antara Hidup dan Mati” (1848) digambarkan seekor banteng besar sebagai lambang bangsa Indonesia melawan dua ekor singa jantan dan betina sebagai lambang kolonial Belanda.
Sebagai pelukis, Raden Saleh dimunculkan sebagai legenda karena kualitas lukisan-lukisannya memang istimewa. Lukisan-lukisannya mempunyai aura yang sanggup menahan keabadian (hlm 144).
Menurut Werner Kraus, jumlah lukisan yang dibuat Raden Saleh 230 buah, tetapi sekarang di dunia ini hanya tinggal 150. Sisanya kemungkinan sudah hilang, Sebagian terbakar pada 1931 dalam Pameran di Paris.”

Nasionalisme
Salah satu karyanya yang terkenal dan mengandung makna yang syarat dengan nasionalisme adalah “Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857)
Pengarang buku “Kuasa Ramalan”, Peter Carey menulis: ”…. Dua puluh lima tahun setelah Pieneman melukis adegan “penyerahan diri” yang heroik oleh Pangeran itu, seniman lain, kali ini seorang Jawa, Raden Saleh Syarif Bustaman (sekitar 1811–1880), menghasilkan lukisan yang sangat berbeda. Dengan judul dalam bahasa Jerman “Ein historisches Tableau, die Gefangennahme des Javanischen Häuptlings Diepo Negoro” (Suatu lukisan [cat minyak] bersejarah, penangkapan Pemimpin Jawa Diponegoro), yang diselesaikan di studio Raden Saleh di Cikini (sekarang RS Cikini) tahun 1857 dan kemudian diserahkan kepada Raja Belanda, Willem III (bertakhta 1849–1890), dengan sikap aneh yang bermakna ganda. Karya ini memperlihatkan emosi yang luar biasa. Seorang Diponegoro yang jelas tampak berang berdiri tegak di bagian tengah lukisan, baru saja menaiki tangga Wisma Residen. Dengan berusaha keras mengendalikan gejolak hatinya, tatapannya sarat dengan tekad membara. Tangan kirinya terkepal melintang di pinggang, ia merentangkan tangan kanannya untuk menghibur seorang perempuan Jawa yang menangis— mungkin istrinya, Raden Ayu Retnoningsih, di sini suatu hasil kebebasan mencipta. (Karena) Tidak ada perempuan dalam rombongan Diponegoro pada saat penahanannya. … –yang dengan penuh kepedihan merengkuh kakinya. Seperti digambarkan oleh Kraus (2005:285– 6) dengan sangat hidup, wajah De Kock dan perwira Belanda lain tampak kosong seolah-olah menatap ke kejauhan.”
Dr I Ketut Winaya, dalam disertasinya di Universitas Udayana (2007) ( dan Buku: “Lukisan Lukisan Raden Saleh, Ekspressi Anti Kolonial”; Galeri Nasional 2008) menegaskan “semangat antikolonial Raden Saleh lewat pembacaan lukisan-lukisannya ….. pada lukisan potret H.W. Daendels di latar belakang figur gubernur jenderal itu bukan hanya pemandangan tropis nan molek, melainkan juga “tampak banyak terlukis bentuk manusia… mengingatkan… bahwa gubernur jenderal ini yang memerintahkan pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer… yang banyak menelan korban rakyat.” (halaman 80)
….pada potret Bupati Majalengka, keris yang disandang di samping dengan kepala keris mengarah ke depan menyimbolkan bupati ini sedang siap berperang. Dengan lukisan ini, “seolah- olah secara terbuka ia [Raden Saleh] kembali ke Indonesia siap siaga untuk memproklamirkan perang melawan kolonialisme.” (halaman 104)
….pada lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, di antara prajurit Diponegoro ada sosok Raden Saleh sendiri. Mudah disimpulkan bahwa sang pelukis menyatakan mendukung perlawanan ini; bukankah di antara keluarganya ada yang menjadi panglima Perang Diponegoro? Dan ini, kostum Pangeran Diponegoro, “apabila diamati dengan baik, di atas dan di tengah-tengah sorbannya diketemukan warna merah dan putih.”
……. “dalam hal ini jelaslah bahwa Raden Saleh mempergunakan lambang atau simbol merah putih tersebut sebagai bentuk perlawanan dalam ekspresi lukisan-lukisan antikolonial….” (halaman 112)
Menurut Carey, bahwa selama Raden Saleh berada di Paris, ada dugaan kuat bahwa Raden Saleh membocorkan kepada Pers mengenai pengasingan Pangeran Diponegoro, dan tulisan media setempat menyebabkan Kerajaan Belanda membuat bantahan keras melalui Duta Besar Belanda di Paris.

Prestasi lain
Raden Saleh juga menjadi anggota kehormatan Perhimpunan untuk Kebun Binatang dan Tumbuh- tumbuhan di Batavia; anggota kehormatan Perhimpunan Betawi untuk Seni dan IImu Pengetahuan (Bataviaasch Gennootschap voor Kunsten en Wetenschap); dan keanggotaannya untuk Koninkijk Instituut voor de Taal, Land-en Volkenkunde di negeri Belanda; dan Natuurkundig Verreninging in Nederlandsch Indie (Perhimpunan IImu Pengetahuan Alam di Hindia Belanda). Juga menjadi konservator pada “Lembaga Kumpulan Koleksi Benda-benda Seni”.

Peringatan dan Penghargaan
Para Raja zaman itu menganugerahinya tanda penghargaan, yang RS sematkan di dada. Di antaranya, bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ksatria Orde Mahkota Prusia (R.K.P.), Ridder van de Witte Valk (R.W.V.), dll.
Pada tahun 2008, sebuah kawah di planet Merkurius diberi nama dari Raden Saleh.
Penghargaan dari Pemerintah Indonesia
Pada tahun 1969 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, memberikan secara anumerta Piagam Anugerah Seni sebagai Perintis Seni Lukis di Indonesia.
Perhatian Pemerintah yang lain adalah, pembangunan makamnya di Bogor atas perintah Presiden Soekarno (1953) yang dilakukan oleh Ir. Silaban. Pemugaran dan perbaikan makam dilakukan pada 2008 oleh Departemen Budaya dan Pariwisata.
PTT mengeluarkan perangko seri Raden Saleh dengan reproduksi dua lukisannya bergambar binatang buas yang sedang berkelahi.
Pada 11 Nopember 2011 Pemerintah R.I. menganugerahkan Bintang Mahaputera Adiprana kepada RS, Satya Lencanan tertinggi yang diberikan kepada seorang warga Negara Indonesia.
Indonesia boleh berbangga karena karya salah seorang puteranya dipamerkan dalam museum museum akbar di Eropah, seperti Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda, dan juga dipajang di museum bergengsi Louvre, Paris, Perancis. Sayangnya beberapa lukisan Raden Saleh telah musnah didalam kebakaran Pavilyun Kolonial Belanda dalam Pameran Internasional di Paris pada 1931.
Prestasi artistiknya mengangkat prestise RS didunia Internasional, dan karenanya patut dikenang dan dihargai dengan rasa bangga.



Pelukis Affandi

Biografi Affandi Koesoema

Affandi Koesoema (Cirebon, Jawa Barat, 1907 - 23 Mei 1990),  putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri. tapi ia meninggalkan studinya untuk keinginan menjadi seorang seniman. Affandi belajar sendiri cara melukis sejak tahun 1934.
Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.


Pernikahan Affandi

Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis.

Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. 
Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis.
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai--yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur--memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian.
Pada tahun 1950, Affandi mulai membuat lukisan ekspresionis. Dia melukis dengan langsung menekan cat keluar dari tabung tersebut. Dia menemukan teknik ini secara tidak sengaja, ketika ia dimaksudkan untuk menarik garis satu hari. Saat ia kehilangan kesabaran ketika dia mencari pensil yang hilang, ia menerapkan cat langsung dari tube-nya. Efek yang dihasilkan, saat ia menemukan, adalah bahwa obyek lukisan tampak lebih hidup. Ia juga merasa lebih banyak kebebasan untuk mengekspresikan perasaannya ketika ia menggunakan tangannya sendiri, bukan kuas lukisan. 
Dalam hal tertentu, ia telah mengakui kemiripan dengan Vincent van Gogh. Sebagai seorang seniman terkenal, Affandi berpartisipasi dalam berbagai pameran di luar negeri. Dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India. 
 

Kegiatan Pameran Lukisan Affandi

Selain India, ia telah juga ditampilkan karya-karyanya dalam Biennale di Brasil, Venice dan Sao Paolo. Pada tahun 1957, ia menerima beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk mempelajari metode pendidikan seni. Dia diangkat sebagai Profesor Kehormatan dalam Lukisan oleh Ohio State University di Columbus di Amerika Serikat. Pada tahun 1974, ia menerima gelar doktor kehormatan dari University of Singapore, Penghargaan Perdamaian dari Yayasan Dag Hammarskjoeld pada tahun 1977, dan gelar Grand Maestro di Florence, Italia. 

Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe
Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi.Topik yang diangkat Affandi adalah tentang perikebinatangan, bukan perikemanusiaan dan dianggap sebagai lelucon pada waktu itu.
  

Pribadi Affandi Pelukis Indonesia

Affandi merupakan seorang pelukis rendah hati yang masih dekat dengan flora, fauna, dan lingkungan walau hidup di era teknologi. Ketika Affandi mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah.
Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.

Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima atau Werkudara, Kresna, tapi affandi tidak demikian.

Di tepi sungai Gajah Wong di Jalan Solo di Yogyakarta, dirancang dan dibangun rumah untuk dirinya sendiri, yang juga berfungsi sebagai museum untuk menampilkan lukisan-lukisannya. Bangunan ini dibangun unik,dengan atap yang menyerupai daun pisang. Museum ini memiliki sekitar 250 lukisan Affandi. Sayangnya, kelembaban udara yang tinggi dan suhu yang menyebabkan kekhawatiran tentang kondisi lukisan.

Yayasan Affandi, yang mengelola museum, menemukan kesulitan untuk mengelola museum benar, karena kurangnya dana dan pendapatan. Sebelum meninggal, Affandi menghabiskan banyak waktu duduk-duduk di museum sendiri, mengamati lukisannya. Dia pernah berkata, "Aku ingin mati dalam kesederhanaan tanpa memberikan masalah kepada siapa pun yang tidak perlu, jadi aku bisa pulang kepada-Nya dalam damai." 

Gaya aliran Lukisanya merupakan gaya baru dalam aliran lukisan modern khususnya ekspressionism. Karya-karya Lukisanya banyak mendapatkan apresiasi dari para pengamat seni baik dari dalam dan luar negeri, beliau aktif berpameran tunggal di Negara-negara seperti: Inggris, Eropa, Amerika dan India, pada masa Tahun 1950-an.

Affandi merupakan salah satu Pelukis yang paling produktif, dimana beliau telah menciptakan lebih dari 2 ribu lukisan selama hidupnya, karyanya telah tersebar diseluruh pelosok Dunia dan dikoleksi oleh para Kolektor kelas lokal dan Dunia.
 
Sumber : www.affandi.org, id.wikipedia.org/wiki/Affandi
 

Senin, 28 Oktober 2013

SIAPA JACKSON POLLOCK?

Paul Jackson PollockNama Lengkap : Paul Jackson Pollock
Alias                 : Pollock
Profesi              : Seniman
Tempat Lahir    : Cody, Wyoming, Amerika Serikat
Tanggal Lahir    : Minggu, 28 Januari 1912
Istri                   : Lee Krasner
 
BIOGRAFI
     Paul Jackson Pollock (28 Januari 191211 Agustus 1956) adalah seorang pelukis Amerika Serikat yang cukup berpengaruh dan merupakan tokoh utama dalam gerakan abstrak espresionis
          Paul Jackson Pollock adalah seorang pelukis Amerika pelopor aliran abstrak ekspresionis. Pollock memulai karir melukisnya pada tahun 1929 di Art Students's League, New York, di bawah asuhan Thomas Hart Benton, seorang pelukis muralis kenamaan New York. Dalam perjalanan melukisnya, Pallock memulai dengan menggunakan aliran regionalis atau biasa disebut aliran naturalis. Seiring perjalanan, ia mulai mengikuti aliran muralis, sebuah aliran dimana melukis dengan menggunakan media besar yang permanen seperti dinding atau langit-langit atap. 
                        
              Percampuran aliran antara regionalis, muralis, ditambah dengan sedikit surealis pada aspek-aspek tertentu membuat imajinasi Pollock terbangun dengan memulai satu aliran baru yang disebut abstrak ekspresionis. Pada aliran yang ia ciptakan ini bermula saat dirinya tengah melukis di atas kanvas dengan lantai sebagai alas. Saat itu, ia memulai dengan bentuk tetesan-tetesan yang ada di kaleng cat yang kemudian disembur dengan menggunakan kuas. Tak puas hanya dengan kuas, Pollock berkreasi dengan benda-benda padat atau asing yang sekiranya dapat meratakan tetesan-tetesan warna dari kalengnya, seperti pecahan kaca, pisau, kayu, bahkan campuran dari pasir sekalipun. Ditemukan pada beberapa buku biografi, Pollock mengaku bahwa apa yang ia ciptakan adalah berasal dari ketidaksengajaan yang kemudian dikreasikan sedemikian rupa hingga didapatkan hasil berupa lukisan yang sepenuhnya abstrak. Hal ini diakui banyak orang bahwa melukis dengan hati akan mempengaruhi hasil dari lukisan yang dibuat seperti halnya terjadi pada banyak pelukis lain. Penemuan aliran ini terjadi pada tahun 1947.
             Sebelumnya, suami dari aktris sekaligus pelukis Lee Krasner ini menghabiskan waktunya dengan bekerja di Federal Art Project sebelum akhirnya bekerja secara independen dengan menciptakan lukisan-lukisan abstrak dan dipamerkan di beberapa museum. Tak hanya itu, ia juga mendirikan sebuah studio lukis bersama dengan istrinya yang ia beri label Pollock-Krasner House and Studio.
               Semasa hidup, Pollock banyak dikenal sebagai pecandu alkohol yang kerap kali bekerja di bawah pengaruh alkohol. Hingga pada tahun 1939 ia mendatangi seorang psikoanalis yang menyatakan bahwa dirinya tengah mengalami gangguan bipolar dimana apa yang ada dalam pandangannya seketika seolah-olah menjadi dua bayangan. Oleh analisnya, Dr. Jusuf Henderson, ia disarankan untuk mengalihkan pandangannya dalam bentuk lukisan dan diharapkan dapat menjiwai dengan apa yang dilukis. Sehingga, didapatlah sebuah maha karya agung aliran yang fenomenal sepanjang masa.
              Berkunjung pada seorang psikoterapis bukan berarti membuat pria kelahiran Cody, Wyoming, 28 januari 1912 ini dapat dinyatakan sembuh dari kecanduannya. Pada tahun 1956, Pollock dinyatakan meninggal akibat kecelakaan yang menewaskan dirinya dan penumpang lainnya, Edith Metzger. Kecelakaan tersebut diakibatkan oleh Pollock yang tengah mengemudi di bawah pengaruh alkohol. Ia dan rekannya tewas di tempat, sementara ibu Pollock, Ruth Kligman dinyatakan selamat.
          Sepeninggalnya, studio lukis milik Pollock dan istrinya dikelola secara resmi oleh Stony Brook Foundation, sebuah organisasi yang bernaung di bawah Stony Brook University. Pada tahun 1985, melalui organisasi lain didirikan sebuah yayasan yang menaungi pelukis independen yang "kurang beruntung", Pollock-Krasner Foundation, yang kemudian hak ciptanya berada pada Artist Rights Society.

Riset dan analisa oleh Atiqoh Hasan.




 PENDIDIKAN
  • Art Students League of New York
  • Los Angeles' Manual Arts High School 
 PENGHARGAAN
- Male and Female Philadelphia Museum of Art, 1942
- Stenographic Figure Museum of Modern Art, 1942
- Mural University of Iowa Museum of Art,[44] currently housed at the Figge Art Museum, 1943
- Moon-Woman Cuts the Circle, 1943
- The She-Wolf Museum of Modern Art, 1943
- Blue (Moby Dick) Ohara Museum of Art, 1943
- Troubled Queen Museum of Fine Arts, Boston, 1945
- Eyes in the Heat Peggy Guggenheim Collection, Venice, 1946
- The Key Art Institute of Chicago, 1946
- The Tea Cup Collection Frieder Burda, 1946
- Shimmering Substance, from The Sounds In The Grass Museum of Modern Art, 1946
- Portrait of H.M. University of Iowa Museum of Art,[54] currently housed at the Figge Art Museum, 1947
- Full Fathom Five Museum of Modern Art, 1947
- Cathedral Dallas Museum of Art, 1947
- Enchanted Forest Peggy Guggenheim Collection, 1947
- Lucifer Iris & B. Gerald Cantor Center for Visual Arts, 1947
- Painting, 1948
- Number 5 (4 ft x 8 ft) Private collection, 1948
- Number 8- At Neuburger Museum at the State University of New York at Purchase, 1948
- Number 13A: Arabesque- At Yale University Art Gallery in New Haven, Connecticut, 1948
- Composition (White, Black, Blue and Red on White) New Orleans Museum of Art, 1948
- Summertime: Number 9A Tate Modern, 1948
- Number 1 Museum of Contemporary Art, Los Angeles, 1949
- Number 3, 1949
- Number 10 Museum of Fine Arts, Boston, 1949
- Number 1, 1950 (Lavender Mist) National Gallery of Art, 1950
- Mural on Indian red ground, 1950 Tehran Museum of Contemporary Art, 1950
- Autumn Rhythm (Number 30), 1950 Metropolitan Museum of Art, 1950
- Number 29, 1950 National Gallery of Canada, 1950
- One: Number 31, 1950 Museum of Modern Art, 1950
- No. 32, 1950
- Number 7 National Gallery of Art, 1951
- Black & White, 1951
- Convergence Albright-Knox Art Gallery, 1952
- Blue Poles: No. 11, 1952 National Gallery of Australia, 1952
- Portrait and a Dream Dallas Museum of Art, 1953
- Easter and the Totem The Museum of Modern Art, 1953
- Ocean Greyness, 1953
- The Deep, 1953
 

Karya Batik



Karya Kerajinan

Kerajinan Tembaga (Teknik Kenteng)

 Patung (Teknik Cetak)

 





Seni Lukis

(Teknik Aquarel)

Bayangan Abstrak

Green Beauty

Penguapan Iman 

Doomsday

Mekar

The Power of Eye

Desain Interior Rumah





Desain Eksterior Rumah